Rabu, 06 Juni 2012

Analisis Puisi

KAJIAN PUISI
ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK ”PADAMU JUA” KARYA AMIR HAMZAH




OLEH
        LA MUDA
A2D1 09 178

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala  karena limpahan rahmatnya, taufik dan hdaya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan analisis puisi ini sesuai waktu yang diberikan. Mudah-mudahan analisis yang penulis lakukan ini sudah dapat mendekati kebenaran dalam menganalisis puisi dengan menggunakan pendekatan tertentu. Selain itu analisis puisi yang dilakuka oleh penulis ini dapat berguna bagi para pembaca.
Analisis ini dilakukan agar mengetahui kemampuan penulis dalam menganalisis sebuah puisi sebagai awal pembelajaran. Dalam menganalisis puisi isi penulis tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Melalui kesempatan ini penulis meminta agar pembaca bersedia memberikan kritik dan saran pada analisis yang dilakukan penulis. Hal ini diharapkan agar penulis dapat membenahi analisis yang dilakukan demi mencapai kepuasan pembaca.

Kendari,    Juni 2012

La Muda

                       

DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2    Rumusan Masalah................................................................................................ 2
1.3    Manfaat................................................................................................................ 3
1.4    Tujuan.................................................................................................................. 4
BAB II KAJIAN TEORI
BAB III PEMBAHASAN
2.1    Parafrase...............................................................................................................5
2.2    Analisis Struktural dan Semiotik......................................................................... 6
2.2.1    Metafora.......................................................................................................7
2.2.2    Personivikasi.................................................................................................7
2.2.3    Perulangan bunyi......................................................................................... 7
2.2.4    Citraan......................................................................................................... 8
2.2.5    Kombinasi.................................................................................................... 9
BAB IV PENUTUP
3.1    Kesimpulan......................................................................................................... 10
3.2    Saran................................................................................................................... 10
LAMPIRAN...................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Strukturalisme dapat paling tuntas dilaksanakan bila yang dianalisis adalah sajak yang merupakan keseluruhan, yang unsur-unsur atau yang bagian-bagiannya saling erat berjalinan (Hawkes, 1978 : 18). Dengan demikian, dalam sajak ini dianalisis secara struktural dan semiotik.
Sajak merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat, maka perlu dipahami secara utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka perlulah disini diberikan parafrase setiap sajak sebelum dianalisis lebih lanjut. Hal ini juga disebabkan oleh sajak menyatkan sesuatu secara tidak langsung, maka diharapkan parafrase ini lebih memudahkan pemahaman dan mengikuti analisis sajak. Sesungguhnya parafrase baru dapat dibuat sesudah sajak dianalisis, ditafsirkan, dan diterangkan mengenai ambiguitas bahsanya dan jalinana unsur-unsur lainnya. Akan tetapi, disini sengaja diberikan parafrase terlebih dahulu sebelum dianalisis dengan alasan tersebut itu. Parafrase disini diberikan berdasarkan analisis yang belum dieksplisitkan dalam uraian. Baru sesudah ini analisis sesungguhnya dipaparkan. Hanya dengan cara analisis, parafrase dapat dibuat meskipun tidak selalu harus berupa analisis eksplisit (jelas). Jadi parafrase yang dibuat sebelum analisis secara eksplisit tidak dibuat semena-mena. Proses analisis ini menunjukan makna keseluruhan ajak. Disamping itu, parafrase yang dikemukakan bukanlah satu-satunya tafsiran yang benar hal ini mengingatkan bahwa sajak itu bersifat banyak tafsiran oleh bahasanya yang ambigu. Tafsiran disini didasarkan pada hubungan struktural tiap-tiap unsur sajak dalam jalinan keseluruhan ajak ataupun didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan yang lain. Parafrase disini dimaksud untuk memberi perkiraan makna sajak. Jadi parafrase disini bukanlah makna mutlak setiap sajak yang dianalisis. Parafrase yang diberikan disini hanyala merupakan kemungkinan tafsiran mengingat bahwa sajak itu bersifat tafsiran ganda.
Sajak yang dianalisis disini adalah sajak Padamu Jua karya Amir Hamzah. Sajak ini dipilih ungtuk memberikan gambaran bagaimana menganalisis sajak secara struktural.


1.2    Rumusan Masalah
Masalah yang dijumpai dalam puisi “Padamu Jua” ini adalah bagaimana kita menganalisis puisi dimaksud dengan menggunakan metode analisis sturuktural dan semiotik
1.3    Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis puisi “Padamu Jua” yaitu diharapkan dapat mengungkapkan sebuah makna yang disampaikan pengarang melalui puisi diatas dengan menggunakan metode analisis struktural dan semiotik
1.4    Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam analisis sturktural dan semiotik puisi “Padamu Jua” adalah kita dapat memperoleh pengetahuan baru dan manfaat dari hasil analisis yang akan dilakukan.


BAB II
KAJIAN TEORI


Sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur. Sturuktur disini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antar unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentuan.
Dalam pengertian struktur terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide tranformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Piaget via Hawkes, 1978 : 16).
Pertama, struktur itu merupakan suatu keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri diluar struktur itu.  Kedua struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bawa itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu.
Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Menurut pikiran strukturalisme, karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Hawkes, 1978:17-18).
Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puisi) harusla karya sastra itu dianalisis (Hill, 1966:6). Namun sebuah analisis yang tidak tepat hanya akan menghasilkan kumpulan fragmen yang tidak saling berhubungan. Unsur-unsur sebuah koleksi bukanlah bagian-bagian yang sesungguhnya. Maka dalam analisis sajak, bagian itu haruslah dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan. Maka dalam analisis sajak bagian itu haruslah dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan. Hal ini seperti dikemukakan oleh T.S. Eliot (via Sansom, 1960:155) bahwa bila kritikus terlalu memecah-mecah sajak dan tidak mengambil sikap yang dimaksudkan penyairnya (yaitu sarana-sarana kepuitisan itu dimaksudkan untuk mendapatkan jaringan efek puitis), maka kritikus cenderung mengosongkan arti sajak. Sajak itu merupakan susunan keseluruhan yang utuh, yang bagian-bagian atau unsur-unsurnya saling erat berkaitan dan saling menentukan maknanya.
Menganalisis sajak itu bertujuan memahami makna sajak. Menganalisis sajak usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna. Hal ini merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang menggunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu ketandaan yang mempunyai arti.
Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konfensinya, yaitu arti yang bukan semata-mata hanya arti bahasa, melainkan memiliki arti tambahan berdasarkan konfensi sastra yang bersangkutan. Dengan demikian, teranglah bahwa untuk mengkaji puisi (sajak) perlu analisis struktural dan semiotik mengingat bawa sajak itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna.
Dengan melihat variasi-variasi di dalam sajak atau hubungan dalam (internal) antar unsur-unsurnya akan menghasilkan bermacam-macam makna. Kritikus menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan konvensi-konvensi sastra yang berlaku (Preminger dkk, 1974:981). Satuan-satuan berfungsi misalnya alur, setting, penokohan, satuan-satuan bunyi, kelompok kata, kalimat (gaya bahasa), satuan fisual seperti tipografi, satuan baris (bait), dan sebagainya.



BAB III
PEMBAHASAN
2.1    Parafrase
Segala cinta si aku (kepada kekasihnya yang hilang) habis terkikis, tak bersisa, hilang terbang sebagai halnya burung yang lepas. Maka si aku pulang kembali kepada kekasihnya yang lama seperti dahulu, sebagai sebelum mempunyai kekasi yang baru. Kata “pulang” (bait 1, baris 3) memberi saran bahwa si aku kembali dari pengembaraan memncari cinta yang lain. Padahal diruma kekasih lamanya tetap menunggunya.
Kekasih yang lama itu sesungguhnya sangat menarik bagaikan lilin yang menyala gemerlapan, dapat menerangi hati si aku, seperti halnya pelita di jendela memberi penerangan di malam yang gelap, juga sebagai tanda bahwa di rumahnya ada penerangan. Dengan kesabaran dan kesetiaan ia memanggil si aku. Si aku pun pulang.
Hanya saja ada satu hal yang perlu dinyatakan kepada kekasihnya itu, yaitu si aku sebagai manusia yang wajar yang terdiri dari tulang, daging, dan darah dan dilengkapi dengan panca indera, maka ia merindukan rasa yang dapat diraba, diindera, merindukan rupa yaitu wujud yang dapat dilihat dengan mata kepala. Sedangkan si engkau, kekasihnya itu, tidak berupa gaib dari penglihatan, suaranya sayup-sayup. Yang dapat dialami secara nyata si aku hanya kata-kata yang merangkai hati, yang menyenangkan atau mengharukan hati, tanpa wujud. (Kalau si engkau yang gaib ini perumpamaan wujud Tuhan, maka “kata yang merangkai hati”).
Kalau dipikirkan bahwa si engkau ini memisahkan si aku dengan kekasihnya yang baru (mengikis habis cintanya), maka si engkau, kekasih yang lama ini cemburu dan ganas, seperti halnya binatang buas yang memangsa si aku dengan cakarnya. Dipermainkannya si aku berulang-ulang bergantian ditangkap dan dilepaskan. Karena itu si aku menjadi nanar (bingung) dan seperti orang gila penasaran. Namun rasa sayang (cinta) si aku akhirnya kembali juga kepadanya itu, karena si engkau, kekasihnya itu begitu pelik (aneh), penuh kerahasiaan, selalu menarik keinginan si aku, seperti gadis yang berada dibaik tirai itu menimbulkan keinginan untuk melihatnya, untuk mengenalnya denga jelas. Segala sesuatu yang penuh rahasia tetapi menyaran, seperti halnya gadis dibalik tirai itu, selalu menarik perhatian dan menimbulkan kegairahan kepada pemuda seperti si aku.
Cinta kasih kekasihnya itu sunyi, menunggu kedatangan si aku seorang diri. “Kasihmu sunyi/menunggu seorang diri”, ini merupakan gambaran sesorang kekasih (gadis) yang sangat sabar menanti kekasihnya (si aku) dalam kesunyiaanya, tanpa pamri demi cinta. Hal ini pula menimbulkan kegairahan si aku. Namun, meskipun waktu berlalu, bukanlah giliran si aku untuk menemui kekasihnya itu. Meskipun hari telah mati, bukannlah kawan si aku dalam arti si aku masih tetap hidup. Jadi si aku tetap tidak dapat bertemu dengan kekasihnya sebab kekasihnya itu bukan kekasih dunia, tak dapat ditemui dengan badan jasmaninya. Yang dimaksud dengan kekasih itu adalah Tuhan. Berdasarkan hal itu, menurut si aku orang hanya dapat menemui Tuhan secara langsung bila sudah mati. Si aku tetap tidak dapat menemui Tuhan karena masih hidup.

2.2    Analisis Struktural dan Semiotik
Secara semiotik, hubungan antara aku dengan engkau dalam sajak “Padamu Jua” ini digambarkansebagai hubungan antara sepasang kekasih, antara pemuda dan pemudi gadisnya. Kata-kata yang menggambarkan hubungan yang mesra memenuhi sajak ini : aku, engkau, cintaku, padamu, kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu rasa, rindu rupa, bahkan ada pula kata cemburu dalam sajak ini, kasihmu, menunggu seorang diri. Sebab itu, secara struktural, ketika si aku mempunyai kekasih baru, maka ”si darah di balik tirai ” cemburu dan ganas (bait 5 baris ke 4) dan sebagai seekor singa memangsa si aku dengan cakarnya dijadikannya seperti mainan. Maksudnya supaya si aku hanya menyintai dia saja, tidak boleh ada orang lain selain dia. Dengan demikian, cinta si aku kepada kekasi barunya jadi “habis kikis” (bait 1 baris 1) dan si aku pulang kembali kepadanya seperti semula. Tentu saja si aku marah dan dengkel, pada kekasihnya dan siaku terlihat seperti orang yang tidak menerima hal itu (“nanar aku gila sasar”). Walau demikian si aku kembali juga cintanya kepada kekasihnya yang serupa dara di balik tirai itu (bait 6), yang masih tetap menunggunya dengan penuh kasih.
Tuhan diwujudkan sebagai manusia, dikiaskan sebagai dara, sebagai kekasih, adalah salah satu cara untuk membuat pathos, yaitu menimbulkan simpati dan empati kepada pembaca, hingga pembaca dapat turut merasakan apa yang dirasakan penyairnya. Pengiasan-pengiasan untuk menimbulkan pathos kelihatan dalam sajak “Padamu Jua” ini seperti:
2.2.1    Metafora
Segala cintaku hilang terbang. Disini cinta itu dikiaskan sebagai burung, dengan demikian cinta yang absatrak tidak bertokoh itu menjadi konkret.
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela dimalam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia.....

Engkau dikiaskan sebagai lilin yang terang, pelita yang menyala di malam gelap, selain gambaran terang juga menjelaskan gambaran si engkau yang menanti sunyi kepada si aku. Maka si engkau lebih menarik lagi, dikombinasikan dengan personofikasi yaitu melambai pulang perlahan/sabar, setia selalu, hal ini tambah menimbulkan kerinduan si aku kepada kekasihnya. Begitu pula metafora yang mengiskan “engkau cemburu”, seperti binatang buas yang mengganas, memangsa si aku dalam cakarnya, sambil mempermainkan si aku : menangkap – melepaskan – menangkap – melepaskan (bait 5), memberikan gambaran yang hidup di depan pembaca.
Perbandingan (simile) yang mengiaskan engkau pelik menarik (ke)ingin(an) serupa dara dibalik tirai (bait 6) ini sangat merangsang emosi. Dara dibalik tirai itu selalu menarik pemuda/lelaki, penuh rahasia tetapi menyaran, menimbulkan keinginan untuk melihat dan mengenalnya lebih terang, membangkitkan kegairahan.

2.2.2    Personivikasi
Kasihmu sunyi/menunggu seorang diri (bait 7), memberi gambaran secara nyata, visual, akan kesetiaan engkau terhadap si aku meskipun si aku sering melupakan karena si aku mencari cinta yang lain. Hal ini menggambarkan bahwa sesungguhnya Tuhan itu selalu menantikan manusia dengan penuh kecintaan meskipun manusia sering melipakan dan meninggalkan-Nya seperti si aku itu.
2.2.3    Perulangan bunyi
Perulangan bunyi seperti : habis kikis (bait 1), perulangan vokal i-i memmberi efek sedikit atau habis, sedangkan aliterasi s-s menambah intensitas arti habis itu. Begitu juga dengan :
Aku manusia
Rindu rupa
Rindu rasa (bait 3)........
Ulangan-ulangan vokal a dan aliterasi r-r membuat liris, begitu pula dalam : Nanar aku, gila sasar.
2.2.4    Citraan
Citraan gerak (kinesthetik image) pada:
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu......
Gerak itu ditandai dengan kkonsonan l diperkuat bunyi r, seolah tampak gerak yang mengiaskan cinta yang hilang. Begitu juga efek gerak yang yang digambarkan dengan bunyi l diperkuat bunyi r tampak jelas dalam:
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan......
Disini kelihatan gerak nyala lilin yang nampak seperti tangan yang melambai-lambai gemulai dalam kesunyian. Citraan gerak itu dikombinasikan dengan citra penglihatan; kandil kemerlap, pelita dimalam gelap, membuat yang abstrak menjadi kelihatan. Begitu pula dalam bait 5, citra gerak dikombinasikan dengan citra visual seperti:
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas.....
Keganasa engkau itu kelihatan dalam wujud : menangkap dengan cakar melepasnya dan menangkapnya lagi, gerakannya dinyatakan dengan bunyi r-l.
Citra rabaan dan penglihatan yang merangsang indera dipergunakan dalam:
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa....(4)
Untuk merangsang pendengaran dipergunakan citra pendengaran dipergunakan dalam:
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati....
Penggunaan citraan memuncak dalam bait 6 baris 3,4:
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai.....
Citraan gerak yang ditandai dengan bunyi r-l dikombinasikan dengan citra visual, tampak dalam mata pembaca: gadis yang secara samar-samar yang kelihatan dibalik tirai tak tampak keseluruhannya tetapi terasa keindahan dan keromatisannya sehingga menggairahkan. Tambah menimbulkan rasa cinta kasih karena gadis/dara ini di gambarkan menanti sendiri, menunggu kekasihnya, si aku manusia: Kasihmu sunyi/Menunggu seorang diri (bait 7, baris 1 dan 2).
2.2.5    Kombinasi
Rupa tiada, lalu waktu, mati hari, merupakan sesungguhnya inversi, inversi semacam itu selain membuat hidup dan liris, juga menjadikan padat membuat lebih ekspresif. Begitu juga untuk pemadatan seperti: Bertukar tangkap dengan lepas : berganti-ganti antara menangkap dan melepaskan. (Tapi) sayang (aku kembali) berulang (ke)padamu jua, ini merupakan pertentangan tajam dengan kalimat di atasnya: nanar aku, gila sasar; atau dapat juga ditafsirkan: Rasa sayangku kembali berulang kepadamu jua (karena) engkau pelik menarik ingin.
Jadi “Bertukar tangkap dengan lepas” dan “sayang berulang padamu jua” merupakan pemadatan yang menimbulkan ekspresivitas.

BAB IV
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Sajak “Padamu jua” ini merupakan monolog si aku kepada kekasihnya. Dalam memudahkan menganalisis sebuah sajak, penulisan parafrase sangant membantu dalam menganalsya.
Dengan penulisan parafrase, analisis struktural dan semiotik dapat dilakukan karena gambaran makna dari puisi dapat dilihat dari parafrasedimaksud. Dalam analisis struktural dan semiotik ini, dapat ditemukan unsur-unsur yang membangun puisi seperti metafora, personifikasi, perulangan bunyi, citraan, dan kombinasi.
3.2    Saran
Sajak merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat, maka perlu dipahami secara utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka perlulah disini diberikan parafrase setiap sajak sebelum dianalisis lebih lanjut, agar mempermudah dalam menganalisis sajak dengan menggunakan berbagai metode pendekatan seperti struktural, semiotik, mimesis, ekspresif, psikologis, dan sosiologis.

Lampiran:

           PADAMU JUA

(Amir Hamzah : NS, 1959 : 5)

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai piulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup,
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa darah di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu, bukan giliranku
Mati hari, bukan kawanku......







DAFTAR PUSTAKA


Hawkes, Terence. 1978. Stucturalism and Semiotics. London: Methuen & Co.Ltd.

Hill, Knox C.1966. Iterpreting Literature. Chicago: The University Press of Chicago.

Preminger, Alex. dkk. 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics.

1 komentar: