Jumat, 15 Juni 2012

Makalah


BAB I
PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang dan Masalah
1.1.1        Latar Belakang
Karya sastra adalah sarana untuk menerima sekaligus memberikan pencerahan kepada pembaca. Karya sastra dilahirkan dalam situasi kosong. Artinya, karya sastra diciptakan  berdasarkan karya sastra yang sudah ada atau yang mendahuluinya.
Sastra adalah sebuah dokumen sosial budaya yang mencatat kegiatan sosial budaya suatu masyarakat pada suatu masyarakat tertentu.  Bagi banyak orang karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, baik secara tersirat maupun secara tersurat. Karya sastra juga dipakai untuk menggambarkan apa makna sastra dalam pendekatan ekspresif. Karya sastra di ibaratkan sebagai potret atau sketsa kehidupan. Namun, potret itu tentulah berbeda denga cermin karena sebagai kreasi manusia. Di dalam sastra banyak terdapat pendapat dan pandangan penulisnya darimana dan bagaimana melihat kehidupannya.
Untuk membatasi apakah sastra itu ternyata bukanlah suatu hal yang mudah di hampir semua buku yang mempermasalahkan sastra dan ilmu sastra selalu di mulai dengan pernyataan “apakah sastra itu?”, yang disusul dengan pencarian batasan-batasan tolok ukurnya. Hal yang paling mudah dikerjakan ialah mencari keterangan ataupun batasan dalam sarana kemudahan yang tersedia berupa kamus. Dalam tuas ekspresif biasanya dikaitkan dengan puisi lirik namun tidak semua bentuk puisi dapat digolongkan dalam jenis ini.  Menurut Hora’tus (Budianta,2002:19) karya sastra bermanfaat dan menghibur. Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan dan memberikan makna pada kehidupan.

1.1.2 Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi masalah yaitu pengetahuan berdasarkan pandangan tokoh pengarang dalam pendekatan ekspresif.

1.2.1 Ruang Lingkup makalah
Guna lebih terangnya makalah ini dapat dibaca ialah memahami  pada analisis tokoh pengarang dengan menggunakan pendekatan ekspresif.

1.2.2 manfaat makalah ini
Manfaat yang diharapakan dari makalah ini adalah pembaca dapat mengetahui dan dapat menelaah secara detail masalah beografi atau sisi pengarang dalam kehidupan dan gaya hidupnya yang menciptakan suatu karangan yang diciptakan untuk pembaca

1.2.3 Tujuan
Tujuan dalam makalah ini yaitu untuk mendeskripsikan tentang teori ekspresif














BAB II 
KAJIAN TEORI



2.1 konsep tinjauan ekspresif
2.1.1 pengertian ekspresif

Secara umum ekspresif adalah pendekatan yang menitik beratkan  pada penulis yang memiliki persamaan dengan pendekatan biografis dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi.Kedua pendekatan ekspresif  yaitu pendekatan yang menitik beratkan yang memandang karya sastra ditentukan olh public pembaca selaku penyambut karya sastra (Yudiono 1984: 31) dan yang ketiga pendekatan ekspresif yaitu pendekatan yang menitikberatkan perhatian pengarang dalam mengekspresikan ide-idenya dalam karya sastra (wahid: 2004 66-67).

 Ada penafsiran, bahwa Marah Rusli menulis Sitti Nurbaya (terbit 1912) pada mulanya bukanlah dengan ambisinya yang ingin menjadi novelis. Ia hanya tidak dapat menemukan jalan lain untuk memprotes tradisionalisme “yang tidak sehat” pada zamannya. Tapi kemudian dalam Salah Asuhan, Abdul Muis mengingatkan bahwa protes terhadap tradisionalisme “yang tidak sehat” itu tidak akan membawa apa-apa, kecuali malapetaka. Penolakan adat-istiadat dan model pendidikan tradisional telah membawa tokoh Hanafi pada posisi dilematis yang tidak berujung, kecuali dengan perpisahan yang mengenaskan. Paraahli sastra pun dengan jitu dapat melihat sisi menarik dari dua konsep yang ditonjolkan, dimana Abdul Muis sebenarnya telah membuka sebuah perdebatan yang amat penting sehubungan dengan konsep dan keinginan kita, walaupun lewat karya sastra. Tidak mengherankan bila kemudian Goenawan Mohamad (1988: 56-57) menyatakan sebagai arah berpikir yang penuh kebimbangan. Artinya, secara tidak langsung pertumbuhan kesusastraan Indonesia sebenarnya dipenuhi oleh kebimbangan-kebimbangan.
Kenyataan ini lebih dipertegas lagi dengan polemik kebudayaan oleh kelompok Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Polemik kebudayaan yang membicarakan tentang arah kebudayaan Indonesia itu meliputi kurun waktu 1935-1936, yang selain dua tokoh di atas juga melibatkan Dr. Poerbatjaraka, Dr. Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara (Achdiat Karta Mihardja, 1977). Anehnya, permasalahan ini kembali menghangat tahun 1986, dengan menampilkan tokoh yang jauh lebih muda dibanding dengan ySutan Takdir Alisjahbana sebagai pencetusnya. Mereka itu di antaranya Umar Kayam, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Soebagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Taufik Abdullah, Andre Hardjana, Sapardi Djoko Damono, Arief Budiman, Asrul Sani, Daoed Joesoef, dan Sutardji Calzoum Bachri (lihat Horison, Juli 1986). Kenyataan ini menunjukkan, bahwa bagaimanapun arah kebudayaan yang tercetus tahun 1935 itu tetap hangat sebagai sebuah pembicaraan yang tidak akan usang-usangnya. Hal ini terbukti di awal tahun 2000-an pembicaraan ini kembali menghangat.
Berbagai perdebatan – kebudayaan atau pun kesusastraan – sampai sekarang tetap marak. Karya sastra pun tetap lahir. Namun di balik semua itu, berbagai kebimbangan pun menebar, malah kadang sulit terdeteksi. Kebimbangan itu tidak hanya sekedar konsep untuk teks karangan itu sendiri, tetapi juga prinsip dari seorang pengarang dalam berkarya. Berbagai peristiwa sastra dan budaya seperti pengadilan puisi tahun 1974, polemik atas tuduhan plagiat puisi Chairil Anwar dan kasus Hamka tahun 1950-an, perang ideologi dan media tahun 1950-an hingga orde baru, pengadilan cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin (1968), perdebatan sastra kontekstual (1986), berbagai pengadilan karya sastra dan riak-riak kecil perdebatan dan polemik kesusastraan di Semarang, Jakarta, Padang, Bandung, dan Surabaya sampai pada persoalan puisi gelap (1994).
Adanya perdebatan kesusastraan sebagai implikasi dari kebimbangan sikap itu akan lebih menarik bila dilihat dari sisi pengarangnya sebagai orang yang bertanggung jawab di dalamnya. Tulisan ini mencoba melihat sisi pengarang yang pada akhirnya dihubungkan dengan pendekatan ekspresif dalam memahami dan menilai sebuah karya yang dihasilkan.
Jika masing-masing pengarang kita tanyakan apa tujuan atau motivasi dari kepengarangannya, maka berbagai jawaban pun akan terkumpul. Boleh jadi kepengarangannya lantaran ingin mengungkapkan ekspresi, karena bakat, keinginan untuk terkenal, sebagai profesi, dan sebagainya. Tapi jujurkah jawaban yang mereka ungkapkan? Lebih jauh, jujurkah mereka dalam gerak lajunya untuk memperoleh titel pengarang “yang benar-benar sukses .
Berbagai kejadian di dunia kepengarangan, khususnya dalam kasus plagiat karya pengarang yang telah “mapan” tidak hanya sekali dua kali kita dengar. Kelabilan para (calon) pengarang terkadang tidak segan-segannya berbuat sesuatu yang sebenarnya merusak namanya sendiri. Pada dasarnya, mereka menginginkan kesejajaran dengan pengarang yang telah “sukses” terlebih dahulu dengan bersusah payah. Kelabilan bersikap, kelabilan berkarya, dan kelabilan dalam memahami dunia yang tengah ditekuninya, merupakan di antara penyebab kegoncangan dunia sastra. Kasus Chairil Anwar yang memplagiat sajah Hsu Chih-Mok, Song of the Sea, menjadi Datang Dara Hilang Dara, adalah salah satu contohnya. Kelabilan Chairil itu pada akhirnya tidak bisa diterima saja, misalnya menyebutnya terpengaruh (Jassin, 1985:57).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar