BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1
Latar
Belakang
Karya sastra
adalah sarana untuk menerima sekaligus memberikan pencerahan kepada pembaca. Karya
sastra dilahirkan dalam situasi kosong. Artinya, karya sastra diciptakan berdasarkan karya sastra yang sudah ada atau
yang mendahuluinya.
Sastra adalah sebuah dokumen sosial budaya yang
mencatat kegiatan sosial budaya suatu masyarakat pada suatu masyarakat
tertentu. Bagi banyak orang karya sastra
menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, baik secara tersirat
maupun secara tersurat. Karya sastra juga dipakai untuk menggambarkan apa makna
sastra dalam pendekatan ekspresif. Karya sastra di ibaratkan sebagai potret
atau sketsa kehidupan. Namun, potret itu tentulah berbeda denga cermin karena
sebagai kreasi manusia. Di dalam sastra banyak terdapat pendapat dan pandangan
penulisnya darimana dan bagaimana melihat kehidupannya.
Untuk membatasi apakah
sastra itu ternyata bukanlah suatu hal yang mudah di hampir semua buku yang
mempermasalahkan sastra dan ilmu sastra selalu di mulai dengan pernyataan
“apakah sastra itu?”, yang disusul dengan pencarian batasan-batasan tolok
ukurnya. Hal yang paling mudah dikerjakan ialah mencari keterangan ataupun
batasan dalam sarana kemudahan yang tersedia berupa kamus. Dalam tuas ekspresif
biasanya dikaitkan dengan puisi lirik namun tidak semua bentuk puisi dapat digolongkan
dalam jenis ini. Menurut Hora’tus
(Budianta,2002:19) karya sastra bermanfaat dan menghibur. Sastra menghibur
dengan cara menyajikan keindahan dan memberikan makna pada kehidupan.
1.1.2
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas maka yang menjadi masalah yaitu pengetahuan
berdasarkan pandangan tokoh pengarang dalam pendekatan ekspresif.
1.2.1
Ruang Lingkup makalah
Guna lebih
terangnya makalah ini dapat dibaca ialah memahami pada analisis tokoh pengarang dengan
menggunakan pendekatan ekspresif.
1.2.2
manfaat makalah ini
Manfaat yang diharapakan dari makalah ini adalah
pembaca dapat mengetahui dan dapat menelaah secara detail masalah beografi atau
sisi pengarang dalam kehidupan dan gaya hidupnya yang menciptakan suatu
karangan yang diciptakan untuk pembaca
1.2.3
Tujuan
Tujuan dalam makalah ini yaitu untuk
mendeskripsikan tentang teori ekspresif
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1
konsep tinjauan ekspresif
2.1.1
pengertian ekspresif
Secara umum ekspresif
adalah pendekatan yang menitik beratkan
pada penulis yang memiliki persamaan dengan pendekatan biografis dan
kedudukan karya sastra sebagai manifestasi.Kedua pendekatan ekspresif yaitu pendekatan yang menitik beratkan yang
memandang karya sastra ditentukan olh public pembaca selaku penyambut karya
sastra (Yudiono 1984: 31) dan yang ketiga pendekatan ekspresif yaitu pendekatan
yang menitikberatkan perhatian pengarang dalam mengekspresikan ide-idenya dalam
karya sastra (wahid: 2004 66-67).
Ada penafsiran,
bahwa Marah Rusli menulis Sitti Nurbaya (terbit 1912) pada mulanya
bukanlah dengan ambisinya yang ingin menjadi novelis. Ia hanya tidak dapat
menemukan jalan lain untuk memprotes tradisionalisme “yang tidak sehat” pada
zamannya. Tapi kemudian dalam Salah Asuhan, Abdul Muis mengingatkan
bahwa protes terhadap tradisionalisme “yang tidak sehat” itu tidak akan membawa
apa-apa, kecuali malapetaka. Penolakan adat-istiadat dan model pendidikan
tradisional telah membawa tokoh Hanafi pada posisi dilematis yang tidak
berujung, kecuali dengan perpisahan yang mengenaskan. Paraahli sastra pun
dengan jitu dapat melihat sisi menarik dari dua konsep yang ditonjolkan, dimana
Abdul Muis sebenarnya telah membuka sebuah perdebatan yang amat penting
sehubungan dengan konsep dan keinginan kita, walaupun lewat karya sastra. Tidak
mengherankan bila kemudian Goenawan Mohamad (1988: 56-57) menyatakan sebagai
arah berpikir yang penuh kebimbangan. Artinya, secara tidak langsung
pertumbuhan kesusastraan Indonesia sebenarnya dipenuhi oleh
kebimbangan-kebimbangan.
Kenyataan
ini lebih dipertegas lagi dengan polemik kebudayaan oleh kelompok Sutan Takdir
Alisjahbana dan Sanusi Pane. Polemik kebudayaan yang membicarakan tentang arah
kebudayaan Indonesia itu meliputi kurun waktu 1935-1936, yang selain dua tokoh
di atas juga melibatkan Dr. Poerbatjaraka, Dr. Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro,
Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara (Achdiat Karta Mihardja, 1977). Anehnya,
permasalahan ini kembali menghangat tahun 1986, dengan menampilkan tokoh yang
jauh lebih muda dibanding dengan ySutan Takdir Alisjahbana sebagai pencetusnya.
Mereka itu di antaranya Umar Kayam, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Soebagio
Sastrowardoyo, A.A. Navis, Taufik Abdullah, Andre Hardjana, Sapardi Djoko
Damono, Arief Budiman, Asrul Sani, Daoed Joesoef, dan Sutardji Calzoum Bachri
(lihat Horison, Juli 1986). Kenyataan ini menunjukkan, bahwa
bagaimanapun arah kebudayaan yang tercetus tahun 1935 itu tetap hangat sebagai
sebuah pembicaraan yang tidak akan usang-usangnya. Hal ini terbukti di awal
tahun 2000-an pembicaraan ini kembali menghangat.
Berbagai
perdebatan – kebudayaan atau pun kesusastraan – sampai sekarang tetap marak.
Karya sastra pun tetap lahir. Namun di balik semua itu, berbagai kebimbangan
pun menebar, malah kadang sulit terdeteksi. Kebimbangan itu tidak hanya sekedar
konsep untuk teks karangan itu sendiri, tetapi juga prinsip dari seorang
pengarang dalam berkarya. Berbagai peristiwa sastra dan budaya seperti
pengadilan puisi tahun 1974, polemik atas tuduhan plagiat puisi Chairil Anwar
dan kasus Hamka tahun 1950-an, perang ideologi dan media tahun 1950-an hingga
orde baru, pengadilan cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin
(1968), perdebatan sastra kontekstual (1986), berbagai pengadilan karya sastra
dan riak-riak kecil perdebatan dan polemik kesusastraan di Semarang, Jakarta,
Padang, Bandung, dan Surabaya sampai pada persoalan puisi gelap (1994).
Adanya
perdebatan kesusastraan sebagai implikasi dari kebimbangan sikap itu akan lebih
menarik bila dilihat dari sisi pengarangnya sebagai orang yang bertanggung
jawab di dalamnya. Tulisan ini mencoba melihat sisi pengarang yang pada
akhirnya dihubungkan dengan pendekatan ekspresif dalam memahami dan menilai
sebuah karya yang dihasilkan.
Jika
masing-masing pengarang kita tanyakan apa tujuan atau motivasi dari
kepengarangannya, maka berbagai jawaban pun akan terkumpul. Boleh jadi
kepengarangannya lantaran ingin mengungkapkan ekspresi, karena bakat, keinginan
untuk terkenal, sebagai profesi, dan sebagainya. Tapi jujurkah jawaban yang
mereka ungkapkan? Lebih jauh, jujurkah mereka dalam gerak lajunya untuk
memperoleh titel pengarang “yang benar-benar sukses .
Berbagai
kejadian di dunia kepengarangan, khususnya dalam kasus plagiat karya pengarang
yang telah “mapan” tidak hanya sekali dua kali kita dengar. Kelabilan para
(calon) pengarang terkadang tidak segan-segannya berbuat sesuatu yang
sebenarnya merusak namanya sendiri. Pada dasarnya, mereka menginginkan
kesejajaran dengan pengarang yang telah “sukses” terlebih dahulu dengan
bersusah payah. Kelabilan bersikap, kelabilan berkarya, dan kelabilan dalam
memahami dunia yang tengah ditekuninya, merupakan di antara penyebab
kegoncangan dunia sastra. Kasus Chairil Anwar yang memplagiat sajah Hsu
Chih-Mok, Song of the Sea, menjadi Datang Dara Hilang Dara,
adalah salah satu contohnya. Kelabilan Chairil itu pada akhirnya tidak bisa
diterima saja, misalnya menyebutnya terpengaruh (Jassin, 1985:57).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar