Jumat, 15 Juni 2012

SERATUS TAHUN DRAMA INDONESIA


SERATUS TAHUN DRAMA INDONESIA

Ketika drama mulai tumbuh disekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Hindia belanda telah tumbuh seni pertujukkan berbahasa melayu yang sangat popular terutama d iota-kota besar, yang umumnya dikenal sebagai komedi bangsawan atau komedi stambul tau opera bangssawan. Kisah-kisah yang dipentaskan terutama sekali diambil dari kisah 100 malam, cerita berbingkai yang sebelumnya sudah dikenal  luas dikenal masyarakat  dan sekaligus ditunjang kepopulerannya dengan pementasan mereka  di panggung.
Asal-usul seni pertunjukan itu tidak begitu jelas, tetapi menurut suatu pendapat ia berasal dari tanh melayu dibawah oleh seorang sutradara teater keliling yang berdarah Rusia. Komedi bangsawan adalah produk kebudayaan popular yang sejak pertengahan abad ke-19 masuk ke Hindia Belanda, dipicu antara lain kebutuhan massa di kota-kota besar untuk mendapatkan hiburan.
Di zaman kita sekarang ini, teater tidak sepenuhna asli, semua hal, tidak terkecuali seni pertunjukan dan sumbernya di tempat lain, baik yang dipertunjukannya maupun kisah yang dipertunjukanya. Dengan demikian, diberbagai suku bangsa di Indonesia  telah sejak entah kapan tumbuh ratusan  jenis pertunjukan yang sangat lebar spektrumnya, mulai adri yang sama sekali tidak bias dipisahkan dari upacara keagamaan sampai jenis pertunjkan yang sepenunya profane, yang biasa dilakukan oleh siapa pun tanpa harus mempelajari bagaimana cara melaksanakannya.
Jenis teater tersebut digolongkan tradisi lisan meskipun dikatakan tanpa kecuali  berasal dari kisah atau kepercayaan yang pernah dituliskan yang mungkin sampai ke pelaksana pementasan itu tidak berupa tulisan tetapi secara lisan. Ada dua jenis tradisi lisan, yaitu primary orality atau kelisanan pertama dan secondary orality atau kelisanan kedua. Krlisan pertama boleh dikatakan sama sekali tidak mengenal aksara; yang ada tinggal kelisanan kedua yang semakin hari semakin berkembang berkat adanya begitu banyak adanya media yang menyalurkan dana dan kebutuhan akan media inilah yang memicu derasnya pengaruh global yang memungkinkan dikembangkannya jenis-jenis seni pertunjukan baru.
Pengaruh dari barat  pun masuk sejak akhir  abad ke-19, mula-mula dalam bentuk penulisan naskah  yang dipentaskan untuk berbagai kepentingan social. Dalam perkembangan tahap ini, dua jalur perkembangan pun muncul, yang pertama merupakan tiruan belaka dari seni pertunjukan yang dikenal sebagai komedi stambul atau opera melayu, yang kedua merupakan usaha beberapa kalangan untuk menyerap pengaruh dari teater Eropa yang pada masa itu mengembangkan realisme dan tokoh yang dianggap berperan seperti Ibsen.
Pergolakan drama pertama di Indonesia  terjadi pada tahun 1920-an  yang kemudian disusul kecenderungan yang seemakin kuat untuk mengungkapkan idealism dengan menggunakan symbol-simbol. Kemudian sepanjang tahun 1930-an para dramawan pribumi kita umumnya adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan seni pertunjukan sehingga naskah-naskah yang mereka tulis bias digolongkan ke dalam drama kamar. Perkembangan tersebut boleh dikatakan pratis berubah ke arah lain ketika pada awal tahun 1940-an pemerintah militer jepang menguasai Indonesia dan menentukan dengan tegas bahwa segala jenis seni tak terkecuali pertunjukan, harus dipergunakan sebagai alat propaganda untuk mendukung gagasan Asia Timur Raya.
Meskipun masa pendudukan Jepang yang singkat itu menerapkan system sensor yang angat ketat, pada masa itu ada sastrawan, antara lain usman  Ismail yang mengembangkan bakatnya dengan tidak sekedar menulis  propaganda. Sesudah proklamasi kemerdekaan tumbuh eforia kebebasan yang mendukung tumbuhnya perhatian dramawan kita terhadapkaum lemah dan rakyat kecil. Kecenderungan serupa sebenarnya sudah muncul pada tahun 1930-an ketika para sastrawan kita menulis drama kamar, tetapi jika ditinjau dari konteks socialnya kedua kecenderungan itu menunjukan perbedaan yang mencolok.
Kesadaran politik yang berkaitan yang berkaitan dengan simpati rakyat kecil yang kemudian dikenal luas  sebagai disebut kaum proletar, baru muncul dalam drama setelah pada tahun 1950, Partai Komunis Indonesia menyiarkan mukadimah dalam rangka didirikannya sebuah organisasi kebudayaan yang bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang kemudian lebih dikenal dengan nama ringkasnya yakni Lekra. Landasan ideologi yang ada pada saat itu tampak sangat kokoh itu ternyata menghasilkan drama sebagai alat propaganda komunis  dalam jumla besar sebab mungkin lembaga itu lebih percaya pada kekuatan seni pertunjukan populer, yang pada masa itu sering disebut juga sebagai seni tradisional.
Meskipun kecenderungan untuk memanfaatkan seni sebagai alat untuk mengumpulkan kekuatan masa demi kepentingan politik sudah mulai tampak sejak awal kemerdekaan, usaha itu dengan tegas tampak sejak tahun 1950-an, kemungkinan besar dengan timbulnya kesadaran dikalangan elit politik bahwa kesenian merupakan saluran penting untuk menyebarluaskan ideologi.
Dalam perkembangan drama kita, pementasan drama terjemahan memegang peranan penting mungkin sekali sebab para dramawan kita lebih peka terhadap apa yang ditonton daripada yang dibaca; dalam hal ini bahkan ada seorang dramawan penting mengaku bahwa ia tidak pernah membaca drama yang kecenderungannya diikutinya.
Berbeda dengan zaman lampau yang telah menghasilkan drama-drama yang umumnya di tulis oleh mereka yang tidak begitu akrab dengan panggung, sejak ada pusat keseniaan Jakarta pada akhir tahun 1960-an dramawan yang menulis umumnya  adalah mereka yang akrab dengan teater. Di samping itu, kegiatan Dewan Kesenian Jakarta yang menyelenggarakan sayembara penulisan naskah drama membuka peluang bagi bakat dan kecenderungan baru untuk tampil.
Drama ditulis untuk dipentaskan; dengan demikian ia memang direncanakan untuk dihadapkan ke penonton. Dalam suasana semacam itu, maka ada unsur penting yang harus dipenuhi, yakni keabadian tema dan kehangatan masalah social yang mendasari gagasannya dan sekaligus menjadi perhatian khalayak pada masanya. Tanpa itu, drama tidak mendapatkan tempat dalam masyarakat. Demikianlah, pada setiap pergantian tatanan social dan politik sesalu muncul kecenderungan tematik baru an mungkn sekali menggunakan teknik pengungkapan sama dengan sebelumnya, tetapiyang sasaranya sama sekali berbeda.
Demikianlah drama Indonesia dan tentunya dimana pun selalu erat kaitannya dengan perubahan social yang penting da drama yang baik serta mampu bertahan lama tentulah  yang berhasil menangkap inti gejala itu dan secara subtil menyampaikannya, bukan yang secara vulgar menampilkannya. Tampaknya lembaga kesenian yang penting perannya dalam mengembangkan teater Indonesia yakni Dewan Kesenian Jakarta, tidak lagi secara teratur menyelenggarakan sayaembara penulisan lakon dan kurang memberikan ruang bagi kelompok teater untuk mementaskan naskah-naskah baru. Namun, drama adalah salah satu jenis kesenian yang akan tetap kita perlukan untuk menenggapi dan menilai berbagai jenis nilai, kaidah, kecenderungan dan peristiwa yang terjadi di sekitar kita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar