SERATUS
TAHUN DRAMA INDONESIA
Ketika drama mulai
tumbuh disekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Hindia belanda telah
tumbuh seni pertujukkan berbahasa melayu yang sangat popular terutama d
iota-kota besar, yang umumnya dikenal sebagai komedi bangsawan atau komedi
stambul tau opera bangssawan. Kisah-kisah yang dipentaskan terutama sekali
diambil dari kisah 100 malam, cerita berbingkai yang sebelumnya sudah
dikenal luas dikenal masyarakat dan sekaligus ditunjang kepopulerannya dengan
pementasan mereka di panggung.
Asal-usul seni
pertunjukan itu tidak begitu jelas, tetapi menurut suatu pendapat ia berasal
dari tanh melayu dibawah oleh seorang sutradara teater keliling yang berdarah
Rusia. Komedi bangsawan adalah produk kebudayaan popular yang sejak pertengahan
abad ke-19 masuk ke Hindia Belanda, dipicu antara lain kebutuhan massa di
kota-kota besar untuk mendapatkan hiburan.
Di zaman kita sekarang
ini, teater tidak sepenuhna asli, semua hal, tidak terkecuali seni pertunjukan
dan sumbernya di tempat lain, baik yang dipertunjukannya maupun kisah yang
dipertunjukanya. Dengan demikian, diberbagai suku bangsa di Indonesia telah sejak entah kapan tumbuh ratusan jenis pertunjukan yang sangat lebar
spektrumnya, mulai adri yang sama sekali tidak bias dipisahkan dari upacara
keagamaan sampai jenis pertunjkan yang sepenunya profane, yang biasa dilakukan
oleh siapa pun tanpa harus mempelajari bagaimana cara melaksanakannya.
Jenis teater tersebut
digolongkan tradisi lisan meskipun dikatakan tanpa kecuali berasal dari kisah atau kepercayaan yang
pernah dituliskan yang mungkin sampai ke pelaksana pementasan itu tidak berupa
tulisan tetapi secara lisan. Ada dua jenis tradisi lisan, yaitu primary orality
atau kelisanan pertama dan secondary orality atau kelisanan kedua. Krlisan
pertama boleh dikatakan sama sekali tidak mengenal aksara; yang ada tinggal
kelisanan kedua yang semakin hari semakin berkembang berkat adanya begitu
banyak adanya media yang menyalurkan dana dan kebutuhan akan media inilah yang
memicu derasnya pengaruh global yang memungkinkan dikembangkannya jenis-jenis
seni pertunjukan baru.
Pengaruh dari
barat pun masuk sejak akhir abad ke-19, mula-mula dalam bentuk penulisan
naskah yang dipentaskan untuk berbagai
kepentingan social. Dalam perkembangan tahap ini, dua jalur perkembangan pun
muncul, yang pertama merupakan tiruan belaka dari seni pertunjukan yang dikenal
sebagai komedi stambul atau opera melayu, yang kedua merupakan usaha beberapa
kalangan untuk menyerap pengaruh dari teater Eropa yang pada masa itu
mengembangkan realisme dan tokoh yang dianggap berperan seperti Ibsen.
Pergolakan drama
pertama di Indonesia terjadi pada tahun
1920-an yang kemudian disusul
kecenderungan yang seemakin kuat untuk mengungkapkan idealism dengan
menggunakan symbol-simbol. Kemudian sepanjang tahun 1930-an para dramawan
pribumi kita umumnya adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan seni
pertunjukan sehingga naskah-naskah yang mereka tulis bias digolongkan ke dalam
drama kamar. Perkembangan tersebut boleh dikatakan pratis berubah ke arah lain
ketika pada awal tahun 1940-an pemerintah militer jepang menguasai Indonesia
dan menentukan dengan tegas bahwa segala jenis seni tak terkecuali pertunjukan,
harus dipergunakan sebagai alat propaganda untuk mendukung gagasan Asia Timur
Raya.
Meskipun masa
pendudukan Jepang yang singkat itu menerapkan system sensor yang angat ketat,
pada masa itu ada sastrawan, antara lain usman
Ismail yang mengembangkan bakatnya dengan tidak sekedar menulis propaganda. Sesudah proklamasi kemerdekaan
tumbuh eforia kebebasan yang mendukung tumbuhnya perhatian dramawan kita
terhadapkaum lemah dan rakyat kecil. Kecenderungan serupa sebenarnya sudah
muncul pada tahun 1930-an ketika para sastrawan kita menulis drama kamar,
tetapi jika ditinjau dari konteks socialnya kedua kecenderungan itu menunjukan
perbedaan yang mencolok.
Kesadaran politik yang
berkaitan yang berkaitan dengan simpati rakyat kecil yang kemudian dikenal
luas sebagai disebut kaum proletar, baru
muncul dalam drama setelah pada tahun 1950, Partai Komunis Indonesia menyiarkan
mukadimah dalam rangka didirikannya sebuah organisasi kebudayaan yang bernama
Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang kemudian lebih dikenal dengan nama ringkasnya
yakni Lekra. Landasan ideologi yang ada pada saat itu tampak sangat kokoh itu
ternyata menghasilkan drama sebagai alat propaganda komunis dalam jumla besar sebab mungkin lembaga itu
lebih percaya pada kekuatan seni pertunjukan populer, yang pada masa itu sering
disebut juga sebagai seni tradisional.
Meskipun kecenderungan
untuk memanfaatkan seni sebagai alat untuk mengumpulkan kekuatan masa demi
kepentingan politik sudah mulai tampak sejak awal kemerdekaan, usaha itu dengan
tegas tampak sejak tahun 1950-an, kemungkinan besar dengan timbulnya kesadaran
dikalangan elit politik bahwa kesenian merupakan saluran penting untuk
menyebarluaskan ideologi.
Dalam perkembangan
drama kita, pementasan drama terjemahan memegang peranan penting mungkin sekali
sebab para dramawan kita lebih peka terhadap apa yang ditonton daripada yang
dibaca; dalam hal ini bahkan ada seorang dramawan penting mengaku bahwa ia
tidak pernah membaca drama yang kecenderungannya diikutinya.
Berbeda dengan zaman
lampau yang telah menghasilkan drama-drama yang umumnya di tulis oleh mereka
yang tidak begitu akrab dengan panggung, sejak ada pusat keseniaan Jakarta pada
akhir tahun 1960-an dramawan yang menulis umumnya adalah mereka yang akrab dengan teater. Di
samping itu, kegiatan Dewan Kesenian Jakarta yang menyelenggarakan sayembara
penulisan naskah drama membuka peluang bagi bakat dan kecenderungan baru untuk
tampil.
Drama ditulis untuk
dipentaskan; dengan demikian ia memang direncanakan untuk dihadapkan ke
penonton. Dalam suasana semacam itu, maka ada unsur penting yang harus
dipenuhi, yakni keabadian tema dan kehangatan masalah social yang mendasari
gagasannya dan sekaligus menjadi perhatian khalayak pada masanya. Tanpa itu,
drama tidak mendapatkan tempat dalam masyarakat. Demikianlah, pada setiap
pergantian tatanan social dan politik sesalu muncul kecenderungan tematik baru
an mungkn sekali menggunakan teknik pengungkapan sama dengan sebelumnya,
tetapiyang sasaranya sama sekali berbeda.
Demikianlah drama
Indonesia dan tentunya dimana pun selalu erat kaitannya dengan perubahan social
yang penting da drama yang baik serta mampu bertahan lama tentulah yang berhasil menangkap inti gejala itu dan
secara subtil menyampaikannya, bukan yang secara vulgar menampilkannya.
Tampaknya lembaga kesenian yang penting perannya dalam mengembangkan teater
Indonesia yakni Dewan Kesenian Jakarta, tidak lagi secara teratur
menyelenggarakan sayaembara penulisan lakon dan kurang memberikan ruang bagi
kelompok teater untuk mementaskan naskah-naskah baru. Namun, drama adalah salah
satu jenis kesenian yang akan tetap kita perlukan untuk menenggapi dan menilai
berbagai jenis nilai, kaidah, kecenderungan dan peristiwa yang terjadi di
sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar