Sabtu, 16 Juni 2012

bahasa jurnalistik





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Bahasa jurnalistik juga merupakan bahasa komu­nikasi massa sebagaimana tampak dalam koran (harian) dan majalah (mingguan). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers. Bukan karya-karya opini (artikel dan esai). Oleh karena itu jika ada wartawan yang juga ingin menulis cerpen, esai, kritik, dan opini, maka karya-karya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai karya jurnalistik, karena karya-karya itu memiliki varian tersendiri.
Faktor yang menyebabkan munculnya bahasa jurnalistik adalah karena keterbatasan ruang dan waktu yang dimiliki oleh wartawan dalam menulis berita, maka dengan Bahasa Jurnalistik wartawan dapat menulis berita tanpa meninggalkan unsur-unsur pokok dalam berita tersebut. Kepentingan pembaca yang terbatas, seperti orang yang bergegas pergi ke kantor ia membutuhkan informasi, dan tanpa membaca seluruh isi berita, orang itu dapat mengetahui informasi apa yang terdapat dalam berita tersebut dengan hanya membaca head line, atau lead berita (paragraph utama ) dari berita tersebut. Bahasa Jurnalistik harus mudah dibaca oleh orang dengan tingkat intelektual minimal (standard).
Bahasa jurnalistik lebih menekanakan pada efektivitas. Setipa kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setipa kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai denga tujuan pesan pokok yang yang ingin di samapaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi dalam bahasa jurnalistik, tidak sekedar sekedar hadir sebagai varian dalam gaya, tetepi juga sebagai keputusan yang didasarkan pada pertimbnagan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak.
Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal. Seperti sekarang ini, masih banyak media cetak maupun media elektronik yang sering malakukan kesalahan- kesalahan seperti ini. Tata istilah yang disertai beberapa buku penjelasan terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa sering tidak ditaati. Harus diakui banyak wartawan yang masih enggan menjenguk kamus umum Bahasa Indonesia untuk mengecek sesuatu. Hal ini mengalami simpang siur  yang bisa terlihat di media cetak maupun terdengar dalagm media elektronik.

1.2     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      apa pengertian bahasa jurnalistik?
2.      bagaimana ciri-ciri bahasa jurnalistik?
3.      Apa fungsi bahasa jurnallistik?
4.      Hal- hal apa saja yang yang perlu diperhatikan ragam bahasa jurnalistik?

1.3     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu, diharapkan kepada pembaca dapat memahami:
1.      Untuk mengetahui pengertian bahasa jurnalistik
2.      Untuk mengetahui ciri –ciri bahasa jurnalistik
3.      Untuk mengetahui fungsi bahasa jurnalistik
4.      Untuk mengetahui ragam bahasa jurnalistik

1.4  Manfaat Penulisan
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat mempermudah pembaca dalam  mengetahui pengertian jurnalistik, ciri- ciri jurnalistik, fungsi jurnalistik, serta ragam bahasa jurnalistik.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik adalah gaya bahasa yang dipakai wartawan dalam menulis berita. Bahasa Jurnalistik dapat disebut juga bahasa massa / bahasa Koran. Bahasa Juranlistik sendiri memiliki sifat yaitu komunikatif artinya langsung kepada materi atau langsung menuju pokok persoalan (to the point), lebih terhadap denotatif, tidak bertele-tele, dan tanpa banyak basa-basi, dan Spesifik artinya kalimatnya biasanya pendek, kata-katanya jelas, gaya penulisannya sederhana, dan mudah dimengerti oleh massa.
Posisi bahasa Jurnalistik sendiri sangat erat kaitannya dengan peran dari bahasa jurnalistik. Dapat dikatakan letak Bahasa Jurnalistik sangat strategis diantaranya Bahasa Jurnalistik menjadi bahasa khusus bagi kalangan media. Bahasa Jurnalistik sendiri menjadi lead bahasa / referensi bagi masyarakat, sehingga menjadi trend center penggunaan bahasa yang digunakan masyarakat. Bahasa Jurnalistik merupakan sub-sistem dari bahasa Indonesia.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan demikian, bahasa jurnalistik  itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik diantaranya:
1.      Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
2.      Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
3.      Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pema­kaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
4.      Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga.
5.      Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
6.      Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/penegertian makna yang berbeda, menghidnari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif.

2.2  Fungsi Bahasa Jurnalistik
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972)  sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Namun, persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993)  disebut retorika tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa  sebagai alat untuk mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa jurnalistik.
Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukkan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dn prinsip ekspresifitas:
1.      Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
2.      Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
3.      Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang,wacana jurnalistik di­konstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintakstik yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacna jurnalistik
4.      Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-spek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausali­tas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan.

2.3  Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Pemakaian BI Ragam Jurnalistik
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemakaian bahasa indonesia ragam jurnalistik antara lain:
1.      Pemakaian kosakata bahasa Asing dan Bahasa Daerah tidak berlebihan. Bahasa Asing dan Bahasa Daerah boleh diguinakan jika (1) tidak ada padanannya dalam BI dan (2) bisa diterima menjadi BI. Jika kata-kata itu masih berbau asing, maka perlu diberi tanda kurung.
2.      Pemakaian BI ragam baku, berkaitan dengan masalah (a) penulisan Ejaan, singkatan, akronim, tanda baca, (b) tidak menghilangkan imbuhan, kecuali untuk judul berita, (c) menulis dengan kalimat-kalimat pendek.Pengutaraannya teratur dan logis.  Kalimat setidaknya mengandung unsur  pokok dan sebutan (subjek, predikat, objek, dan keterangan)
3.      Menjauhkan dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipaklai dalam transisi berita seperti kata-kata: sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka, dalam pada itu, dll.
4.      Menghilangkan kata-kata mubazir seperti kata adalah (kata kerja kopula) bahwa (kata sambung) dll.




BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Keadaan bahasa indonesia di media massa khususnya, dan di masyarakat umumnya, masih belum sebaik yang diharapkan. Dengan keadaan yang demikian sikap berbahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam pembinaan bahasa. Selain itu, keterampilan teknis sangat diperlukan oleh seorang jurnalistik agar bisa menjalankan fungsinya.

3.2     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, masih ada kekurangan, baik itu dari segi penulisan maupun dari segi penyampaian. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembibing maupun pembaca lainnya demi kesempurnaan makalah ini. Adapun harapan dari penulis yakni semoga makalah ini dapat menjadi acuan bagi penulisan makalah selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar