KEARIFAN LOKAL
BUDAYA MUNA KAITANNYA DENGAN FUNGSI PENDIDIKAN KARAKTER DAN EKONOMI KREATIF
Oleh
La
Niampe
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adalah
bahan mentah budaya. Demikian ungkapan yang disampaikan Ralph Linton dalam
bukunya The Study Of Man (1936).
Individu-individu dalam masyarakat saling berinteraksi timbal-balik sehingga
menimbulkan budaya. Individu-individu ini ada yang mempunyai kemampuan merubah
alam (Mastery of Natural) dan
kemampuan memberi bentuk baru dari benda yang sudah ada (Masteri of Thing) seperti kayu diberi bentuk baru berupa alat-alat
rumah tangga (Kartodordjo, 2009:1). Ada juga kemampuan memberi variasi gerakan
tubuh dari gerakan yang sudah ada sehingga lahirlah berbagai bentuk pertunjukan
dalam masyarakat, dan masih banyak lagi yang lain.
Konsep kebudayaan adalah sistem ide
yang dimiliki bersama oleh pendukungnya maka kebudayaan Muna atau budaya Muna
adalah sistem ide yang didukung oleh masyarakat Muna yang meliputi;
kepercayaan, pengetahuan, keseluruhan nilai mengenai apa yang dianggap baik
untuk dilakukan, diusahakan dan ditaatinya, norma, berbagai jenis hubungan
antar idividu dalam masyarakat, dan keseluruhan cara mengungkapkan perasaan
dengan bahasa lisan, bahasa tulisan, nyanyian, permainan musik, tarian, lukisan
dan penggunaan lambang bagi kepentingan lain. Sedangkan masyarakat Muna adalah
bukanlah kelompok individu yang terdiri dari ras Muna saja, melainkan kelompok
masyarakat yang tidak berdasarkan ras Muna, bahkan ke dalam pengertian
masyarakat Muna disini dapat dimasukkan ras bukan Muna seperti Bugis, Ambon,
Makasar, Jawa, yang dalam kehidupan sehari-hari mereka menjadi pendukung
kebudayaan Muna.
Inti
kebudayaan nasional adalah karakter orang perorang, karakter suku persuku,
sebab karakter bangsa Indonesia dibangun dari identitas-identitas lokal atau
daerah. Dengan demikian maka untuk orang Indonesia yang baik bagi orang Muna
maka harus menjadi lebih dahulu menjadi orang Muna yang baik. Untuk menjadi
orang Muna yang baik (dalam sudut pandang kebudayaan) adalah harus mampu
berpikir positif, berkata positif dan berbuat positif terhadap kebudayaannya
(kearifan lokalnya).
Batasan Kearifan
Lokal
Dalam bentangan Indonesia baru dewasa ini, yang
dimaksud dengan kebudayaan “lokal” mestinya lebih tepat disebut kebudayaan
“sub-bangsa” atau “suku bangsa”. Memang pada umumnya suatu suku bangsa (=
golongan etnik) itu mempunyai suatu “tanah asal” tertentu di Indonesia ini,
yang bisa meliputi wilayah sampai ke yang sangat besar, atau yang
“bercabang-cabang”. Namun kenyataan pun menunjukkan bahwa dari waktu-kewaktu
terdapat mobilitas penduduk yang menyebabkan perluasan jelajah suatu suku
bangsa keluar dari tanah asalnya, dan menyelip diantara kawasan hunian
suku-suku bangsa lain. Munculnya koloni Bugis di berbagai penjuru Indonesia
adalah contoh yang paling tipikal. Fakta itulah yang menyebabkan istila “lokal”
untuk mengkelaskan kebudaan tidaklah tepat. Lebih tidak tepat lagi jika
kesatuan kebudayaan itu dikaitkan sebagai penentu dalam penataan administrasi
kewilayaan. Suatu suku bangsa dapat menghuni lebih dari satu kabupaten ataupun
provinsi, dan sebaliknya di dalam suatu provinsi, kabupaten, atau bahkan satu
kecamatan, bisa terdapat lebih dari satu suku bangsa yang sama-sama ‘asli’,
yang tinggal dalam wilayah yang bersangkutan
Digunakan untuk menerjemahkan istilah local genius yang semula dicetuskan oleh
H.G. Quaritch Wales. Hakikat local genius
(baca: kearifan lokal) dalam sudut pandang positif secara inplisit
menyangkut: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) memiliki kemampuan
unsur-unsur budaya luar kedalam kebudayaan asli, (3) mempunyai kemampuan
mengintegrasi unsur-unsur budaya luar kedalam budaya asli, (4) memiliki
kemampuan mengendalikan, dan (5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya
(Mundardjito, 1986:40) meskipun local
genius telah berterima dengan masyarakat Indonesia, namun tetap ada upaya
untuk mencarikan padanan kata dalam bahasa Indonesia. Gagasan untuk mengganti
istilah local genius dengan suatu
istila dalam bahasa Indonesia telah banyak dilakukan, Sodiman (1986:67-68)
mengajukan lima alternatif, yakni (1) identitas kebudayaan, (2) identitas
bangsa, (3) kebudayaan asli, (4) kebudayaan tradisional, dan (5) kepribadian
(baca:Semadi Astra, 2004:111).
Upaya untuk mengganti istilah lokal genius yang cukup komprehensif,
yang mungkin mencakup kelima alternatif itu adalah Edi Sedyawati (2006:382).
Kearifan lokal sebuah istilah yang hendaknya diartikan “kearifan dalam
kebudayaan tradisional”, dengan catatan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah
kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Kata kearifan hendaknya juga
dimengerti dalam arti luasnya, yaitu tidak hanya berupa norma-norma dan
nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang
berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan
pengertian tersebut, maka yang termaksut sebagai penjabaran “kearifan lokal”
itu, di samping peribahasa dan segala ungkapan kebahasaan yang lain, adalah
juga berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas
itu, maka diartikan bahwa “kearifan lokal” itu terjabar ke dalam seluruh
warisan budaya, baik yang tangible maupun
yang intangible.
Kearifan Lokal
dan pendidikan karakter
Contoh-contoh
kearifan lokal budya Muna
1.
pobhini-bhiniti kuli
pomote-motehi
pomaa-maasigho
popia-piara
poangka-angkatau
2.
hansuru-hansurumo arataa sumano
kono hansuru badha
hansuru-hansurumo
badha sumano kono hansuru liwu
hansuru-hansurumo
liwu sumano kono hansuru sara
hansuru-hansurumo
sara sumano kono hansuru agama
3. dopofoghonu
mina naseise, dopogaati mina nakogholota
4. motehie
amamu/idhamu, kapae amamu/idhamu itu lansaringino kabholosino allah taala
motehie inamu/paapamu,
kapae inamu/paapamu itu lansaringino kabholosino nabi muhammadhi
motehie isamu, kapae
isamu itu lansaringino kabholosino malaikati
moasiane aimu, kapae
aimu itu lansaringino kabholosino muumini
5. odadi
okahandaki
okakawasa
okapande
opofetingke
opowura
opobhausa
6.
peda kolipopo
peda
gholeo
peda
kawea
peda
kabhawo
peda
lia
peda
oe
peda bhake
Kearifan Lokal
dan Ekonomi Kreatif
Alvin
Toffler dalam bukunya berjudul The Third Wave (1980) menjelaskan bahwa perjalanan sejarah
peradaban umat manusia telah melampaui tiga fase perkembangan;
Pertama,
munculnya
temuan-temuan baru di bidang pertanian, temuan-temuan ini secara berproses
mengangkat derajat kehidupan umat manusia dengan menjadikan usaha pertanian
sebagai penopang utama bagi kehidupan. Pertanianlah yang menjadi sentral
kehidupan dan semua temuan-temuan baru pun ditujukan dalam upaya meningkatkan
produktifitas di bidang pertanian.
Kedua, munculnya
peradaban baru yang lahir sebagai ciptaan Revolusi industri. Temuan-temuan baru
yang berhasil melipatgandakan kerja otot dan bahkan secara keseluruhan
menggantikan tenaga manusia secara fisik dan bekerja secara cepat, tepat dengan
hasil yang berlipat ganda.
Ketiga, lahirnya
sebuah era baru yang secara total digerakkan oleh revolusi ilmu pengetahuan dan
teknologi. Di era ini IPTEK tidak hanya menambah kemampuan otot manusia, tapi
juga melipatgandakan kemampuan otak dan kinerja nalar yang dicapai umat manusia
di era gelombang ketiga, adalah berkat kemampuan IPTEK dalam bidang komputer
dan komunikasi yang kemudian melahirkan revolusi komunikasi dan selanjutnya
melahirkan satu tatanan masyarakat dunia yang baru yang dikenal dengan nama Masyarakat Informasi.
Amerika
Serikat, Jepang, Perancis, Inggris menjadi warga dunia itu di jajaran
negara-negara Barat dan Jepang, Singapura dan Korea Selatan menjadi warganya di
belahan Timur, sementara di Indonesia warganya hanya di kalangan lapisan
tertentu seperti perbankan dunia, perindustrian dan konglomerat yang sudah
menjadi bahagian integral dari masyarakat informasi dunia yang mengalami
perkembangan sangat pesat.
Seperti
apakah masyarakat informasi itu? Jawabannya sederhana ialah ketergantungan
kehidupan manusia dalam berbagai bidang kehidupan informasi menjadi tulang
punggung perekonomiannya, karena sektor inilah yang paling banyak memberi
perkerjaan kepada masyarakatnya. Peradaban dunia baru yang dibawa oleh
gelombang ketiga menurut Alvin Toffler
terjadi melalui Revolusi Komunikasi dan Informasi.
Perubahan-perubahan
ini secara mendasar menyebabkan pula terjadinya perubahan sikap dan tingakah
laku orang dan masyarakat. Peradaban baru ini menurut Toffler, membawa pula gaya baru dalam kehidupan keluarga, cara
kerja baru, perangai baru dalam bercinta, tingkah laku ekonomi baru,
konflik-konflik baru dan di atas semua itu adalah sebuah kesadaran baru (new onsiousness) dengan kata lain bahwa
peradaban dunia baru ini mengandung implikasi bahwa mereka yang ingin dan
berhasil meraihnya perlu mentransformasikan diri dengan kebudayaannya (Alfian 1991).
Apa
yang dikemukakan Alvin Toffler,
semuanya sudah menjadi realitas dan sekarang masyarakat dunia, warga komunitas
informasi global sudah melangkah ke gelombang keempat peradaban umat manusia,
sementara bangsa kita boleh dikatakan masih berada dalam gelombang pertamanya Alvin Toffler, hanya sebagian kecil saja
dari masyarakat kita yang hidup di kota-kota besar yang sudah mungkin dapat
dikatakan berada di gelombang kedua dan sebagian kecil dari mereka dalam jumlah
yang sangat sedikit, baru melangkah memasuki gelombang ketiga.
Indonesia
tidak hanya dikenal karena perbedaan-perbedaan etnik, suku bangsa, agama dan
budaya, tetapi juga pluralisme dalam tingkat peradaban. Dari bentuk kehidupan
zaman batu hingga kehidupan maya ada di Indonesia. Kini gelombang keempat pasca
Alvin Toffler sudah berlangsung.
Negara dan warga masnyarakat informasi serta masnyarakat IPTEK di dunia global
sudah memasuki gelombang keempat sementara Indonesia masih menggapai di luar
pagar. Untuk menjadi anggota/warga masyarakat gelombang keempat dari peradaban
umat manusia posisi Indonesia sangat penting. Karena komoditas utama gelombang
keempat peradaban umat manusia itu bukan lagi hasil pertanian, bukan lagi hasil
manufaktur dan industri berat, bukan lagi produk-produk IPTEK dalam bidang
informasi, dan globalisasi ekonomi, karena semua produk-produk tersebut kian
bertambah murah dan sudah menjadi bagian dalam peradaban yang universal.
Sekarang gelombang keempat sudah kita masuki, dan BUDAYA menjadi komuditas
utamanya. Kearifan lokal satu diantaranya.
Di
era gelombang keempat ini, peradaban umat manusia dewasa ini muncul apa yang
disebut era Ekonomi Kreatif. Dalam tatanan itu Indonesia yang amat kaya
dengan deposit budaya menjadi sangat penting, tidak hanya dari segi
pelestariannya sebagai warisan budaya yang perlu di jaga dan dilindungi, demi
harkat dan harga diri bangsa, tetapi dari segi profan ia dapat diolah hingga
dapat memberi nilai tambah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ekonomi
Kreatif disebut juga dengan Creative Industries, dilain suasana
ada juga yang memberinya nama Industri
Budaya, atau Culture Industry. Di
era gelombang keempat ini, warga masyarakat dunia sudah menjelajah seluruh
pelosok negeri kita untuk mengidentifikasi mata-mata budaya kita yang akan
diolah sebagai tambang baru untuk di exploitasi, Apakah juga kemudian
eksploitasi ini akan meninggalkan kubangan-kubangan besar dalam kehidupan
kebudayaan kita, seperti kubangan-kubangan fisik yang ditinggalkan oleh
explorasi “tambang-tambang timah di Pangkal Pinang, kehancuran pulau-pulau
kecil di Kepri karena explorasi bauksit, atau hancurnya infrastruktur dan alam
karena explorasi batubara di Kalimantan dan banjir besar di pedalaman Riau
karena akar-akar kelapa sawit tidak berperan menahan dan menampung air?
Sangat
disadari bahwa Ekonomi Kreatif atau idustri Budaya memerlukan keahlian khusus
untuk mengolahnya. Memerlukan profesionalitas dan skill yang tepat untuk
mengerjakannya dan juga diperlukan moralitas yang tinggi sebagai landasannya.
Ekonomi Krekatif adalah sebuah karya yang betul-betul harus menjadi karya
dunia, tanpa tanding, bermutu dan bernas, serta lahir dari imajinasi kreatif
yang cemerlang, karena itu setiap kelahirannya ia harus segera dilindungi
kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara internasional.
Dalam upaya menggapai arus deras gelombang
ekonomi yang ke empat ini pemerintah RI telah meluncurkan cetak biru Ekonomi
Kreatif Indonesia, yakni konsep ekonomi baru yang berorientasi pada
kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan. Cetak biru tersebut
akan memberi acuan bagi tercapainya visi dan misi industry kreatif Indonesia
sampai tahun 2030. Landasan utama industry kreatif adalah sumberdaya manusia
Indonesia, yang akan dikembangkan sehingga mempunya peran sentral dibanding
faktor-faktor produksi lainnya. Penggerak industri kreatif dikenal sebagai
system triple helix, yakni
cendekiawan (intellectual), dunia
usaha (business) dan pemerintah (govermment). Dalam cetak biru Ekonomi
Kreatif Indonesia tersebut dicatat 14 cakupan bidang Ekonomi Kreatif yakni; 1)
jasa periklanan, 2) arsitektur, 3) seni rupa, 4) kerajinan, 5) desain, 6) model
(fashion), 7) film, 8) music, 9) seni pertunjukan, 10) penerbitan, 11) reset
dan pengembangan, 12) software, 13) TV dan radio, dan 14) video game.
Pengembangan kesadaran bangsa akan
kekayaan warisan budaya Indonesia, harus segera dilakukan secara simultan
sehingga dapat menyelamatkan, melestarikan, dan memanfaatkan warisan budaya
tersebut melalui inovasi dan kreatifitas demi mencapai kesejahteraan. Bangsa
Indonesia sangat beruntung karena memiliki khazana “Deposit Budaya”, yang sangat kaya dan apabila diolah dan dikemas
dengan baik dapat menjadi aset yang mendatangkan devisa dan meningkatkan
perekonomian rakyat. Hal penting lain yang juga sangat perlu mendapat perhatian
pemerintah dan masyarakat adalah perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI)
bagi karya budaya anak bangsa.
Dalam hubungan ini Negara berkepentingan
melindungi harta warisannya sebagai pemilik “Deposit Budaya” dan Negara berkepentingan melindungi rakyatnya agar
tidak menjadi objek explorasi industri tanpa nilai tambah bagi kesejahteraan
hidup masyarakat. Negara juga berkepentingan menjaga dampak negatif yang dapat
ditimbulkan oleh explorasi mata budaya terutama jika explorasi itu akan
merugikan masyarakat dan negara secara umumnya.
Kesimpulan
Siapa
yang harus bertanggung jawab memelihara kearifan lokal budaya Muna? Dalam konteks kehidupan nasional, yang harus
bertanggung jawab memelihara kearifan lokal budaya Muna adalah seluruh
masyarakat pendukung kebudayaan Muna. Namun dalam konteks kehidupan bernegara,
yang harus bertanggung jawab adalah pemerintah daerah yang bersangkutan yaitu
melalui Dinas Pariwisata kebudayaan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Tugas Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan adalah mendokumentasikan, melestarikan, mempromosikan
dan memasarkan. Sedangkan dinas Pendidikan dan Kebudayan adalah
mensosialisasikan baik melalui pendidikan formal maupun informal.